Rabu, 27 Mei 2009

Banyak Wanita PSK Asli Kota Bandung

BANDUNG(SI) – Daerah asal wanita pekerja seks komersial (PSK) di Kota Bandung mulai terjadi perubahan. Realitasnya saat ini banyak ditemukan PSK yang merupakan perempuan asli Kota Bandung.

Kondisi ini berbeda dengan beberapa tahun lalu yang sebelumnya lebih banyak PSK di Kota Bandung yang berasal dari luar kota, seperti dari Kabupaten Indramayu, Garut,dan kota-kota di sekitar Bandung. Mereka pun cukup sering terjaring razia yang digelar Dinas Sosial (Dinsos) dan Satpol PP Kota Bandung.

Kepala Dinsos Kota Bandung Siti Masnun mengungkapkan,kenyataan tersebut sudah banyak berubah. Saat ini, PSK yang berkeliaran di beberapa titik jalan di Kota Bandung lebih banyak yang merupakan warga asli Bandung. Siti mencontohkan, saat razia beberapa waktu lalu yang digelar di beberapa ruas jalan, pihaknya berhasil menjaring sedikitnya 30 PSK.

Ketika didata,ternyata hampir semua PSK itu memiliki KTP Kota Bandung. ”Namun beberapa orang di antaranya bukan asli warga Kota Bandung.Banyak juga PSK tersebut berasal dari Garut atau Cianjur, tapi karena sudah lama berdomisili di Bandung, mereka sudah memiliki KTP Kota Bandung,”kata Masnun di sela-sela acara Peresmian Perpustakaan Daerah Kota Bandung di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Senin (25/5) lalu.

Selain itu, kini marak PSK yang masih dikategorikan remaja di bawah umur atau kurang dari 17 tahun. Masnun mengungkapkan, usia para PSK yang terjaring beberapa waktu lalu berkisar 16–47 tahun. PSK yang berusia muda lebih banyak dibanding yang berusia tua. Setelah dijaring, 17 orang dikirim ke panti sosial di Palimanan untuk memperoleh pembinaan.

Sisanya dibebaskan karena di bawah umur dan selanjutnya dikembalikan ke orangtua masing-masing untuk dibina. Dinsos juga bekerja sama dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung untuk melakukan pengecekan kemungkinan para PSK mengidap HIV/AIDS. Setelah diperiksa, dari 30 PSK yang terjaring itu, dua di antaranya dinyatakan positif mengidap HIV/ AIDS.

“Alasan mereka menjadi PSK masih standar yaitu karena faktor ekonomi.Mereka mengaku tidak memiliki keahlian lain untuk memperoleh penghasilan sehingga memilih untuk melacurkan diri,”tandasnya.

Setelah Saritem ditutup, papar Masnun, beberapa titik jalan di Kota Bandung semakin ramai dijadikan tempat mangkal bagi perempuan malam. Beberapa jalan yang dijadikan tempat mengkal di antaranya Jalan Otto Iskandardinata (Otista),kawasan Pasar Baru, Jalan Tegalega, Banceuy, dan lain-lain.

Untuk membina PSK itu pihaknya akan sering melakukan razia.Targetnya, minimal dalam satu tahun dilakukan razia sebanyak 12 kali.Razia yang dilakukan Dinsos tujuannya berbeda dengan razia oleh Satpol PP.Jika Satpol PP menggelar razia untuk menegakkan Perda Kebersihan,Ketertiban, dan Keindahan (K3), Dinsos melakukan razia untuk memberikan pembinaan kepada semua PSK agar memiliki mata pencaharian yang lebih baik.

Masnun menambahkan, Dinsos mengirimkan PSK untuk dibina ke panti sosial di Palimanan,Cirebon, minimal 60 orang setiap angkatannya.Mereka dibina agar setelah kembali ke masyarakat memiliki keterampilan untuk bekal kehidupan mereka selanjutnya.

Pengiriman ke Palimanan tersebut karena hingga kini Kota Bandung belum memiliki panti sosial khusus untuk membina PSK. “Untuk mengirimkan PSK ke panti sosial di Palimanan, kami tidak mengeluarkan biaya lagi karena kami sudah menjalin kerja sama dengan pemerintah daerahnya,” tandasnya.

Rawan Human Trafficking

Menanggapi banyaknya perempuan asli Bandung yang menjadi PSK, pendiri Institut Perempuan (IP) R Valentina Sagala menilai banyak faktor yang menyebabkan hal itu,mulai dari faktor ekonomi, kemiskinan, hingga rendahnya pendidikan.

Namun, ada faktor lain yang menyebabkan banyak perempuan berprofesi sebagai PSK, yakni masih dipandangnya perempuan sebagai obyek seksualitas kaum lelaki. “Dari cara pandang itulah pada akhirnya membuat perempuan dipandang juga sebagai komoditas seksual sehingga perempuan kerap dimanfaatkan sebagai bagian dari bisnis prostitusi,”kata Valentina di sela-sela Media Gathering bertema ”Kultur,TKI, dan Ketahanan Pangan” di RM Citra Sari, Jalan Soka, Kota Bandung,kemarin.

Dia mengatakan, semakin banyaknya perempuan asli Bandung yang menjadi PSK dimulai saat muncul imej bahwa perempuan Bandung cantik dan kerap jadi incaran setiap lelaki. Dari cara pandang itulah akhirnya dimanfaatkan pihak tertentu untuk menjadikan perempuan Bandung sebagai obyek dalam bisnis prostitusi.

“ Walaupun, belum ada riset yang benar-benar menyebutkan bahwa imej itu salah satu faktor dijadikannya perempuan Bandung sebagai PSK karena dinilai geulis.Pandangan itu memang ada di masyarakat,” tuturnya.

Selain itum Valentina mengungkapkan, Kota dan Kabupaten Bandung rawan perdagangan manusia (human trafficking). Kota dan Kabupaten Bandung malah menjadi daerah pengirim,transit, dan penampungan bagi para korban human trafficking itu sendiri. “Di Bandung ini lengkap. Kita jadi sending area, transit, dan penampungan mereka. Ini justru yang jarang kita sadari,”ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Badan PP&KB) Jawa Barat Suryadi menyatakan, ada dua persoalan yang dihadapi perempuan, yakni soal kualitas dan perlindungan.

Persoalan kualitas terkait masih minimnya pendidikan kaum perempuan, terutama di desa-desa. Selain kualitas, kaum perempuan juga perlu mendapat perlindungan.Sebab, kebanyakan dari mereka sering menjadi korban, entah human trafficking atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).“Jadi dari segi pendidikan mereka harus kuat,”ujar Suryadi.

Senin, 25 Mei 2009

Ritual Perang Tanpa Dendam

Image

PERANG PISANG,
Beberapa remaja bertelanjang dada sedang beraksi dalam ritual perang pisang. Tradisi perang pisang atau biasa disebut mesabatan biu itu dalam rangka memilih ketua dan wakil ketua Sekaa Teruna. Perang pisang dilakukan untuk menguji mental dan kedisiplinan para calon.

Perang tidak selalu memiliki arti sebagai klimaks dari sebuah permusuhan yang memakan korban.Tengok saja Perang Pandan masyarakat Tenganan, Kabupaten Karangasem,ujung timur Bali. Sore itu 16 orang taruna (pemuda) Desa Tenganan Dauh Tukad, Kecamatan Manggis,Kabupaten Karangasem, berbaris di ujung jalan desa layaknya siap berperang.

Mereka bertelanjang dada dan mengenakan kain kemben dan udeng (ikat kepala). Senjata yang mereka hunus bukanlah pedang maupun panah yang sesungguhnya, melainkan buah kelapa dan dua tandan pisang kepok mentah yang terpanggul di pundak masing-masing. Di ujung yang berlawanan,berjarak sekitar 200 meter, berdiri pula dua pemuda yang juga menanggul hasil bumi.

Sedangkan seluruh warga desa yang semula berkumpul di Pura Bale Agung desa setempat diminta berjajar di sepanjang jalan yang nantinya dilalui oleh kedua kubu pemuda tersebut yang akan bertarung itu. Iringan gamelan khas Bali yang dimainkan para tetua desa makin meramaikan perhelatan tradisi ini. Tak lama kemudian, pukulan kulkul (kentungan khas Bali) terdengar.

Ke-16 pemuda itu bergegas berjalan dengan setengah berlari menuju arah lawan.Tepat di tengah perjalanan yang menjadi medan, “perang”pun berlangsung. Aksi lempar pisang mentah terjadi dengan sasaran kedua pemuda yang belakangan diketahui sebagai calon ketua dan wakil ketua seka taruna (kelompok pemuda desa).Tak mau kalah, kedua calon pimpinan pemuda desa itu pun membalasnya.

Tradisi perang pisang atau biasa disebut mesabatan biu bertujuan memilih ketua dan wakil ketua seka teruna,juga dilakukan untuk menguji mental dan kedisiplinan kedua calon.“Jadi, sebelum keduanya dapat ditetapkan, terlebih dahulu mereka harus menempuh ujian,” ujar Kelian Gede Taruna Seka Taruna Dukuh Mengku Komang Mardika.

Bila dalam prosesi terdapat kelapa yang jatuh ke tanah,si pemuda wajib membayar denda sebesar harga jual kelapa tersebut atau sekitar Rp1000 per buah. “Biasanya ada calon yang gugur, namun kali ini keduanya berhasil lolos sebagai petinggi pemuda di sini,” imbuh Mardika.

Ritual perang pisang dilaksanakan serangkaian dengan Aci Katiga (upacara pada bulan ketiga penanggalan Tenganan). Sebelum prosesi perang pandan digelar, semua pemuda desa diwajibkan memetik pisang dan kelapa yang ada di desa.Semua pohon kelapa yang berbuah harus dipetik. Masingmasing pohon satu tandan.

Tradisi Baliaga

Desa Tenganan yang berjarak sekitar 60 km ke arah timur dari Kota Denpasar dipercayai berawal dari zaman pemerintahan Raja Bedahulu, sebelum Bali ditaklukkan Majapahit pada abad XIV.Desa ini pernah terbakar hebat pada 1841 hingga peraturan adat (awig-awig) desa itu semuanya ikut musnah terbakar.

Setelah peristiwa kebakaran itu,para pemuka desa lantas menghadap Raja Karangasem dan Raja Klungkung untuk mohon restu pembuatan peraturan desa yang baru.Awig-awig baru lantas dibuat berdasarkan ingatan para tetua desa dan selesai pada 1842.Awingawig baru ini menjadi pedoman warga desa sampai sekarang. Begitulah kisahnya sehingga Tenganan dikenal dengan tradisi Bali Aga.

Keunikan tersendiri bisa ditemukan di Desa Tenganan ini jika dibandingkan desa lain misalnya rumah adat yang berderet sama persis satu dengan yang lainnya dan tiga balai desanya yang kusam masih bertahan hingga sekarang. Tidak hanya itu,di desa ini juga keturunan dipertahankan dengan perkawinan antar sesama warga desa.

Sementara sistem ekonominya masih bersifat tradisional.Penghasilan penduduk desa masih menggunakan sistem barter di antara kalangan warganya, baik itu berupa hasil bumi, produk kerajinan seperti anyaman bambu, ukirukiran, maupun yang paling terkenal adalah kain geringsing. Satu lagi,warga desa ini juga tidak pernah memperingati Hari Nyepi lazimnya umat Hindu di Bali.

Perang pisang juga menjadi tradisi khas yang membedakan penduduk Tenganan dengan orang Bali lainnya.Ritual ini baru dihentikan setelah kedua calon harus lari tunggang-langgang sejauh kurang lebih 300 meter menuju pintu gerbang Pura Bale Agung. “Begitu kedua calon berhasil lolos masuk pintu gerbang pura, mereka dinyatakan lulus dan mereka yang berhasil lolos berhak dikukuhkan menjadi penghulu adat untuk kelompok taruna,” tandas Mardika.

Meski masing-masing peserta mengaku kesakitan akibat lemparan pisang,tak satu pun dari mereka yang memiliki dendam terhadap peserta lainnya.Mereka mengaku ini kewajiban sebagai pemuda ketika memasuki usia remaja atau akil balig.Tradisi yang telah berlangsung ribuan tahun itu tak pernah menyisakan dendam.

“Cepat atau lambat,semua pemuda harus menjalani ini untuk melatih tanggung jawab,”ujar Wayan Dharma,berusia 26 tahun yang terpilih menjadi ketua seka taruna.“ Juga tak ada dendam sedikit pun,” imbuh Wayan Agustiana, berusia 25 tahun yang menjadi wakilnya.

Pesta Megibung

Perang pisang diakhiri dengan megibung (makan bersama dalam satu wadah) di Pura Bale Agung yang diikuti semua warga desa,termasuk para peserta dan anakanak. Mereka semua duduk melingkari makanan khas dan kendi berisi air putih yang telah disiapkan sebelumnya oleh kaum ibu dan taruni (pemudi) desa.

Selain untuk menghilangkan permusuhan di antara pemuda desa,tradisi megibungini berfungsi untuk mensyukuri segala yang telah diberikan Tuhan dan menularkan ajaran toleransi dan kebersamaan hingga tata cara kepada anak-anak. “Harapannya anak yang kelak menjadi penerus adat istiadat desa kami tetap bisa menjaganya,”tutur Mardika.

Rabu, 13 Mei 2009

Ajak Masyarakat Jaga Lingkungan Pesisir

Saat sebagian mahasiswa sibuk tawuran,adu jotos, dan demo sambil menutup jalan,ternyata masih ada komunitas mahasiswa yang memilih jalan lain untuk mengabdikan diri ke masyarakat.

SALAH satunya, mendirikan sekolah alam dan memberikan pendidikan cinta pada lingkungan pesisir. Ukuran tubuhnya tidak seberapa besar, bahkan jauh dari gemuk. Kulit wajahnya pun tampak hitam akibat terkena sengatan sinar matahari.

Namun, saat bercerita soal kecintaan terhadap lingkungan pesisir pantai,wanita berjilbab ini tampak sumringah dan menampakkan wajah yang ceria. Seakan tergambar, kecintaannya pada lingkungan, melebihi cinta terhadapnya. Nama wanita itu,yakni Fatimah Azahra. Beberapa waktu lalu, dia baru saja menyelesaikan kuliah S-1 di Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas). Dengan penuh semangat dia bercerita soal keprihatinannya terhadap lingkungan pesisir.Menurutnya, banyak kehancuran lingkungan pesisir akibat ulah manusia.

”Daerah pesisir yang seharusnya dijaga, rusak akibat bom ikan dan akibat lainnya. Itu terjadi karena kurangnya perhatian masyarakat. Tapi,mereka tidak bisa disalahkan,” jelasnya. Berawal dari keresahan itulah bersama teman-temannya sesama mahasiswa Perikanan Unhas, mereka mendirikan sekolah alam di Pulau Barrang Caddi, Makassar. Menurut Ima––sapaan akrabnya–– sekolah alam itu didirikan awal Januari lalu. ”Belum lama sekolah alam ini kami dirikan.

Saat ini kurikulumnya sedang disusun teman-teman pengajar,”tutur dia. Walaupun sedang dalam proses penggarapan kurikulum,beberapa kegiatan sudah dilakukan rekanrekannya yang tergabung dalam Sekolah Alam Taman Bahari Indonesia. ”Teman-teman pengajar sudah mulai aktif. Salah satunya,memberikan permainan kepada anakanak sekolah alam.”

”Bentuk permainannya, mereka akan diberikan poin,jika dalam rentang waktu tertentu mampu mengumpulkan sampah jenis plastik yang ada di laut dalam kantong ajaib buatan sendiri,”katanya. Walaupun usia sekolah Alam Taman Bahari baru seumur jagung, jumlah anak didiknya sudah lumayan banyak. Rata-rata adalah masyarakat Pulau Barrang Caddi. ”Baru berjalan beberapa bulan, tapi anak-anak yang bergabung di sekolah alam sudah 50 orang.Sekolah alam ini tidak dipungut biaya, kami tetap membuat standarisasi usia, yakni 7 hingga 15 tahun ,” jelasnya.

Sebab, untuk membangun kesadaran dan kecintaan terhadap lingkungan pesisir, harus dimulai dari anak-anak.Karena itu,materi sekolah ini lebih banyak ke arah bermain dan game. ”Anak-anak bersentuhan langsung dengan alam dan mereka dididik mencintai alam. Ini adalah sekolah yang merangsang stimulus mereka sejak dini. Sejak usia anak-anak,” ucapnya. Dia menjelaskan saat belajar, jumlah 50 murid dibagi dalam empat kelompok. Satu kelompok berjumlah 15 orang.

Dalam satu kelompok dibimbing satu orang pengajar. ”Saat ini sekolah alam punya delapan orang guru. Jumlah guru masih akan bertambah jika nanti anak-anak yang mau bergabung juga banyak.Sekarang masih dalam tahap penguatan internal organisasi kami,”katanya. Menurut Ima, waktu belajar anak-anak di Sekolah Alam Taman Bahari Indonesia berlangsung setiap akhir pekan, yakni Sabtu dan Minggu. ”Targetnya, sekolah alam ini akan berlangsung selama enam bulan. Jika dihitung, totalnya 48 kali pertemuan dan ini masih level satu.

Sekolah ini membuat beberapa level untuk mengetahui seberapa jauh tingkat perkembangan anak-anak dalam menerima materi pendidikan dari pengajar,” ujarnya. Diharapkan, lulusan dari sekolah alam ini akan memberikan pemahaman kepada masyarakat sekitar, betapa pentingnya menjaga kelestarian alam pesisir. ”Kami tidak mungkin terus-terusan mendidik mereka di sekolah itu. Kalau sudah lulus, nanti anak-anak ini akan mendidik adik-adiknya.

Demikian sampai terus berjalan.Juga melibatkan remaja yang ada di Pulau Barrang Caddi mendampingi kami,”katanya. Dia menceritakan, mengajak anak-anak pesisir untuk bergabung di sekolah alam tidak terlalu sulit. Karena semua guru bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat nelayan yang ada di pulau itu. ”Kami tidak terlalu kesulitan mengajak anak-anak bergabung. Program pendidikan yang kami berikan lebih pada permainan sehingga banyak orangtua yang meminta anaknya bergabung,” jelasnya.

Jumat, 24 April 2009

Bingkai Sunyi Remaja Kota

Kota besar menjanjikan banyak hal,dari keindahan jutaan cahaya di malam hari,transportasi modern, pesona gedung pencakar langit,hingga rasa kehampaan.

HAL tersebut tidak bisa ditemukan di desa-desa kecil.Semua fasilitas itu membuat banyak orang ingin tinggal dan mencari kehidupan yang lebih baik.Padahal, banyak kesulitan yang harus ditempuh ketika terpesona dengan keindahan kota besar, apalagi jika ingin berbaur dan hidup di dalamnya.

Hilangnya nilai persahabatan, kegotongroyongan, dan kemanusiaan disebabkan rutinitas masing-masing. Masyarakat kota tidak peduli dengan orang sekitarnya. Kesunyian remaja kota, itulah yang dituangkan Andara “Anggi”' Firman Moeis dalam dua tari kontemporernya berjudul It's Me dan "....." (2009),yang ditampilkan di Teater Salihara, Jln Salihara No 16, Pasar Minggu, beberapa waktu lalu. It's Meadalah tari kontemporer yang bertolak dari kehidupan remaja perempuan di kota metropolitan, di mana para remaja tumbuh menjadi perempuan dewasa dengan tidak mudah.

Kesulitan itu ditampilkan sang koreografer dengan sangat apik. Sebuah meja dan kursi yang terletak berjauhan, menjadi properti menarik dalam tari kontemporer berdurasi lebih kurang 20 menit tersebut. Detak-detak jam dinding dengan seorang remaja sedang tertidur menjadi pembuka yang manis dalam tari yang dibuat pada 2005 lalu itu. Detak jam berubah menjadi musik lembut dan si remaja pun terbangun. Rutinitas keseharian remaja pada umumnya tergambar jelas dalam It's Me.

Misalnya setelah terbangun, si remaja melihat agenda harian terlebih dahulu,menonton televisi yang digambarkan lewat musik yang memperdengarkan acaraacara di televisi, hingga mandi di balik sebuah tirai. Kejadian itu menggambarkan realisasi dari rutinitas setiap orang. Kecanggihan teknologi yang melanda remaja kota besar, juga digambarkanAndara,dengan sesekali si penari menerima telepon dari telepon selulernya.

“It's Me adalah karya tari yang terinspirasi dari pengalaman pribadi saya ketika tinggal di kota besar. Walaupun gemerlap dan memiliki fasilitas, kesepian dan kesunyian selalu menghantui remaja-remaja kota,” kata koreografer It's Me,Andara,saat ditemui seusai pementasannya. Tarian karya koreografer kelahiran Jakarta 20 Januari 1986 tersebut mulai memperlihatkan sisi artistiknya, ketika si penari menghampiri tirai panjang yang menggantung di langit-langit.

Tirai itu menggambarkan kesulitan para remaja ketika memasuki masamasa dewasa,walaupun memiliki berbagai fasilitas yang disertai kecanggihan teknologi. Kesunyian dan sepi yang dialami remaja, juga digambarkan apik oleh koreografer yang akan mengikuti Singapura Art Festival mendatang, dengan sebuah layar lebar yang melukiskan pergerakan maju sebuah benda. Diiringi dengan musik lembut yang dikombinasikan dengan gambar bergerak di layar dan seorang penari yang tengah bergelantungan di sebuah tirai menjadi perpaduan yang semakin memunculkan sisi sunyi seorang remaja.

“Remaja-remaja kota besar walaupun didukung teknologi, kesepian mereka tidak bisa dihindari. Itu juga yang menginspirasi saya untuk menciptakan karya ini,” tambah koreografer yang biasa disapa dengan Anggi tersebut. Jika karya bertajuk It's Me dibawakan solo dengan properti kursi,meja,dan sebuah tirai, tidak demikian dengan karya kedua Anggi, "......" (2009). Walaupun sama-sama mengangkat sisi kesunyian remaja kota besar, "......." (2009), digambarkan dalam konsep kesunyian remaja yang lebih heterogen. "......" (2009)diawali dengan kegelapan yang pekat di atas panggung.

Ketika panggung mulai menjadi remang dengan cahaya redup, sebuah bandulan bergerak dengan ritme teratur. Kanan, kiri statis yang menggambarkan pergerakan waktu yang lambat, namun pasti. Enam penari, lima di antaranya duduk di kursi dengan rapi, sedangkan satu penari lainnya tergeletak di panggung dengan kursi terbalik. Seiring dengan musik yang semakin keras, gerak para penari pun berubah. Tidak ada gerakan yang sama pada setiap penari.

“Tarian kedua, saya gambarkan sebagai bentuk dari kesepian yang melibatkan banyak remaja di kota besar.Walaupun berada di tengah keramaian, hati mereka tetap penuh dengan kekosongan,” tuturnya. Lima penari yang sibuk dengan rutinitasnya masing-masing, juga digambarkan Anggi dengan ketidakpedulian mereka ketika datang remaja lainnya.Walaupun tergabung dalam sebuah rutinitas, sama sekali tidak ada komunikasi di antara mereka.

“Itulah yang kini dirasakan masyarakat kota besar.Mereka kehilangan cara untuk berkomunikasi atau beramah tamah dengan sesama,” aku koreografer kuning langsat tersebut. Untuk menegaskan kesunyian yang dialami oleh remaja kota besar, Anggi juga menambahkan properti seperti kursi dan sebuah meja. “Kursi merupakan tempat orang banyak bertumpu dan menahan berat badan ketika sedang duduk. Dalam keseharian, kita paling sering menggunakan benda seperti kursi,” tambah lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tersebut.

Pementasan dua karya tari kontemporer karya Anggi memang membuat penonton yang memadati Teater Salihara terpana. Aplaus panjang pun bergema di akhir pertunjukan. “Bagi saya, karya Anggi memang memiliki kekuatan dari segi ide.Namun, masih belum bisa dikategorikan sebagai tari kontemporer,” kata koreografer Jecko Siompo seusai menyaksikan dua karya Anggi. Alasannya, menurut Jecko, adalah tarian Anggi yang berjudul It's Me, tidak membuatnya berpikir karena dikemas dengan sangat ringan.

"Dari segi artistik tarian Anggi memang bagus. Di tarian kedua yang berjudul "........" (2009), mungkin harus banyak berlatih lagi," tambah koreografer berpengalaman internasional ter-sebut. (bernadette lilia nova)

Senin, 13 April 2009

gara2 barang haram

=
Kasus Lain, ABG Ngaku ImageDijual Ibu Teman Rp3 Juta

PALEMBANG – Dalam kondisi ilusi akibat banyak mengonsumsi narkoba, seorang anak baru gede (ABG) berinisial Yn (17), terlihat linglung dan ketakutan. Hebohnya, ABG asal Kabupaten OKU itu mengaku habis dicekoki sabu-sabu (SS) dan diperkosa secara bergilir oleh 4 pria yang baru dikenalnya.Saat ditemukan di Pos Polantas Simpang Internasional Plaza (IP), Minggu (12/4), sekitar pukul 13.00 WIB, ABG berambut panjang mengenak baju tank top warna orange, celana jeans pendek, tidak mengenakan alas kaki, dan terlihat kumal. Oleh petugas SPK Poltabes Palembang pimpinan Ipda Hanys Pamungkas Subandrio, Yn diamankan ke Mapoltabes Palembang. Bahkan meski sudah berada di ”kawasan aman”, Yn selalu berteriak dan ketakutan bila melihat segala yang bergerak. Polisi dan wartawan, dibuat kebingungan oleh polahnya. Lambat laun, Yn mengaku beralamat di Jl Bakung, Lr Istiqamah, Baturaja, Kabupaten OKU. Ayahnya seorang PNS yang berdinas di PU Pengairan OKU, berinisial So, sementara ibunya berinisial Nu berdagang.

Jumat, 03 April 2009

pemilu

Pemilu 2009 yang hanya tinggal hitungan hari adalah pemilu ketiga di masa Indonesia pasca-Orde Baru, sesudah Pemilu 1999 dan 2004.

Rangkaian dua pemilu sebelumnya telah berlangsung baik itu menjadi ukuran Indonesia sebagai salah satu negara demokratis terbesar. Sebelumnya, pemilu yang demokratis hanya sempat terjadi pada 1955, yang merupakan pemilu pertama Republik Indonesia yang baru berumur 10 tahun.

Setelahnya,Orde Baru dengan jumawa menjadikan pemilu hanya sebagai panggung sandiwara dagelan untuk melanggengkan kekuasaan seorang Soeharto, sang Smiling General,dengan mesin politiknya,ABRI-Birokrasi- Golkar (A-B-G). Lalu sejak Soeharto tumbang bersamaan dengan oligarki yang dibangunnya, Indonesia menyelenggarakan lagi pemilu pertama kalinya pada 1999.

Mata dunia internasional lantas menjadi “pengawas”, bahkan seorang Jimmy Carter (mantan Presiden AS) pun menyempatkan diri berkunjung. Indonesia pun menuai “standing ovation”dari dunia demokrasi internasional. Pemilu sendiri dapat kita maknai sebagai wahana konstitusional di mana seluruh rakyat dari suatu negara berdaulat menggunakan hak suaranya. Idealnya, mereka yang kelak terpilih adalah pribadipribadi maupun perwakilan kelompok kepentingan yang akan mengelola sumber daya kekuasaan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Merekalah yang nantinya menjadi penyambung lidah rakyat dalam demokrasi tidak langsung ini di mana tidak memungkinkan bagi semua warga negara untuk urun rembuk dalam pengambilan keputusan. Konsep di atas bukan sekadar refleksi dari pengharapan bahwa pemilu hendaknya melahirkan negarawan yang memang mengabdikan dirinya bagi rakyat.

Tetapi juga, secara paradigmatik hendak menegaskan cara pandang bahwa pemilu adalah proses politik yang berkorelasi dengan eksistensi kita sebagai sebuah bangsa dalam satu konteks kehidupan kolektif-lokalregional- internasional. Jika pemilu gagal menghimpun kelas negarawan, tetapi justru mengonsolidasi kekuatan penyamun, maka sebentar saja republik ini akan dirampok dan digadaikan.

Lalu, pertanyaan mendasar bagi kita semua sebagai bangsa, apakah sesudah rangkaian pemilihan umum, sudah tampakkah bahwa kita menjadi bangsa yang sejahtera? Sudahkah negara yang didirikan sejak 1945 itu telah benar tunduk dan taat pada mandat sosial dan cita-cita kemerdekaan ketika didirikan pendiri republik? Sudahkah kita bangsa yang sepenuhnya berdaulat dan berwibawa dalam pergaulan internasional?

Siklus Politik dan Pemilu Degradatif

Dalam hemat kami, rangkaian pemilu yang telah silam barulah berlangsung dalam level pemenuhan kehendak akan restrukturisasi kelas elite politik nasional maupun daerah. Rangkaian pemilu itu belum memberi akibat kualitatif terhadap eksistensi rakyat sebagai basis legitimasi politik yang sadar dan kritis.

Dengan lain kata, rangkaian pemilu kita masih terus menguatkan daulat tuanku, ketimbang daulat rakyat. Sekurang-kurangnya, pengentalan karakter daulat tuanku dalam sistem politik nasional kita ditandai tiga siklus perilaku yang belum sepenuhnya bisa kita putus secara kolektif.

Pertama, siklus mobilisasi massa. Siklus ini ditandai dengan proses seleksi dan rekrutmen elite nasional pun daerah (lewat pemilu atau pilkada) yang kontestasinya dikelola dengan cara-cara mobilisasi.Pada pokoknya, politik mobilisasi dititikberatkan pada eksploitasi emosi massa dengan mengeksploitasi simbolsimbol tertentu.

Karena itu, dalam praktik mobilisasi, rakyat sejatinya adalah objek, yang seperti lubang hitam, menyedot semua informasi dan provokasi elite. Siklus mobilisasi menghambat lahirnya politik kewargaan di mana rakyat adalah individu yang sadar dan kritis sehingga dirinya mampu menyiasati perilaku elite.

Sehingga pada situasi yang demikian, penerjemahan kedaulatan rakyat dalam sistem politik hampir tak bisa diukur secara faktual-empiris. Kedua, siklus korupsi politik. Korupsi politik yang dimaksud adalah tindakan politik yang menyalahgunakan sumber daya politik dan segala fasilitas yang melekat padanya untuk kepentingan- kepentingan sempit, destruktif dan dilakukan berulang-ulang kali yang umum terjadi pada ketiga sendi trias politica: eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Khusus pada lembaga legislatif, terbongkarnya kasus suap, mark-upAPBD,dan lain-lain adalah contoh siklus itu.Di level kedaulatan nasional, siklus korupsi politik berakibat fatal, di mana elite politik aktif meloloskan produk undang-undang yang melayani kepentingan kelompok tertentu dan anti rakyat.

Kasus UU privatisasi Air dan UU Penanaman Modal, adalah segelintir fakta bahwa legislator kita bekerja melayani kepentingan asing semata. Ketiga,siklus restorasi oligarkiklantisme politik. Umumnya oligarki tersusun dari pertemuan beberapa blok kepentingan yang berkonsolidasi hingga menguasai inti politik.Dalam oligarki,pertemuan kepentingan ekonomi-politik dijalin oleh relasi-relasi yang cenderung bukan hubungan kekerabatan. Sedang klantisme tersusun menurut jejaring darah dan membentuk inti dinasti dalam formasi negara.

Mahasiswa Memandang Pemilu

Dalam konteks itu, beberapa agenda nasional yang bisa didorong sebagai bagian dari pelibatan visi dan pandangan kaum muda terhadap Pemilu 2009 dapat dirunut dalam beberapa poin berikut.

Pertama, politik kebangsaan. Pemilu 2009 harus menjadi ruang konsolidasi segenap anak bangsa demi mendorong terwujudnya konsensus nasional tentang kemandirian bangsa yang menjadi landas tumpu bersama (common background) untuk membangun Indonesia yang adil,sejahtera,berdaulat dan berwibawa dalam pergaulan internasional.

Kedua, politik kenegaraan.Pemilu 2009 harus melahirkan pribadi- pribadi politik yang berkapasitas dan berkompetensi untuk melakukan penataan konstitusi berdasarkan visi dan cita-cita bangsa sesuai yang telah ditanam para founding fathers.

Ketiga, politik kebijakan. Produk Pemilu kali ini jangan sampai melahirkan gerombolan elite politik yang lihai merampok aset negara untuk kepentingan sempitnya. Namun, jangan sampai produk Pemilu 2009 melahirkan elite-elite baru yang mereproduksi rentetan kebijakan yang tidak mengabdi pada kepentingan bangsa.

Keempat, politik keseharian. Demi wibawa pemilu sebagai agenda rakyat, maka praktik politik uang, primordialisme, feodalisme, oligarki elite, dan perilaku yang merendahkan martabat rakyat sebagai pemilik legitimasi politik tidak boleh terjadi lagi. Pada akhirnya,Pemilu 2009 ini akan sengit dengan pertempuran sesama elit dalam satu medan demokrasi (ultra)liberal seperti yang sedang dianut sekarang ini.

Karena itu dibutuhkan pula rencana jangka panjang,melampaui dan antisipatif terhadap momentum pemilu yang pendek ini. Untuk itu, kami mahasiswa mengajak semua elemen bangsa ini untuk menyukseskan pemilu.Nasib kita semua ditentukan dalam pesta demokrasi ini. Memang masih banyak kekurangan. Namun, jangan sia-siakan dengan menjadi golput, karena tindakan itu tak menyelesaikan masalah.Dalam semua pilihan pasti ada yang paling baik.(*)

Muhammad Rodli Kaelani
Ketua Umum PB PMII