Jumat, 24 April 2009

Bingkai Sunyi Remaja Kota

Kota besar menjanjikan banyak hal,dari keindahan jutaan cahaya di malam hari,transportasi modern, pesona gedung pencakar langit,hingga rasa kehampaan.

HAL tersebut tidak bisa ditemukan di desa-desa kecil.Semua fasilitas itu membuat banyak orang ingin tinggal dan mencari kehidupan yang lebih baik.Padahal, banyak kesulitan yang harus ditempuh ketika terpesona dengan keindahan kota besar, apalagi jika ingin berbaur dan hidup di dalamnya.

Hilangnya nilai persahabatan, kegotongroyongan, dan kemanusiaan disebabkan rutinitas masing-masing. Masyarakat kota tidak peduli dengan orang sekitarnya. Kesunyian remaja kota, itulah yang dituangkan Andara “Anggi”' Firman Moeis dalam dua tari kontemporernya berjudul It's Me dan "....." (2009),yang ditampilkan di Teater Salihara, Jln Salihara No 16, Pasar Minggu, beberapa waktu lalu. It's Meadalah tari kontemporer yang bertolak dari kehidupan remaja perempuan di kota metropolitan, di mana para remaja tumbuh menjadi perempuan dewasa dengan tidak mudah.

Kesulitan itu ditampilkan sang koreografer dengan sangat apik. Sebuah meja dan kursi yang terletak berjauhan, menjadi properti menarik dalam tari kontemporer berdurasi lebih kurang 20 menit tersebut. Detak-detak jam dinding dengan seorang remaja sedang tertidur menjadi pembuka yang manis dalam tari yang dibuat pada 2005 lalu itu. Detak jam berubah menjadi musik lembut dan si remaja pun terbangun. Rutinitas keseharian remaja pada umumnya tergambar jelas dalam It's Me.

Misalnya setelah terbangun, si remaja melihat agenda harian terlebih dahulu,menonton televisi yang digambarkan lewat musik yang memperdengarkan acaraacara di televisi, hingga mandi di balik sebuah tirai. Kejadian itu menggambarkan realisasi dari rutinitas setiap orang. Kecanggihan teknologi yang melanda remaja kota besar, juga digambarkanAndara,dengan sesekali si penari menerima telepon dari telepon selulernya.

“It's Me adalah karya tari yang terinspirasi dari pengalaman pribadi saya ketika tinggal di kota besar. Walaupun gemerlap dan memiliki fasilitas, kesepian dan kesunyian selalu menghantui remaja-remaja kota,” kata koreografer It's Me,Andara,saat ditemui seusai pementasannya. Tarian karya koreografer kelahiran Jakarta 20 Januari 1986 tersebut mulai memperlihatkan sisi artistiknya, ketika si penari menghampiri tirai panjang yang menggantung di langit-langit.

Tirai itu menggambarkan kesulitan para remaja ketika memasuki masamasa dewasa,walaupun memiliki berbagai fasilitas yang disertai kecanggihan teknologi. Kesunyian dan sepi yang dialami remaja, juga digambarkan apik oleh koreografer yang akan mengikuti Singapura Art Festival mendatang, dengan sebuah layar lebar yang melukiskan pergerakan maju sebuah benda. Diiringi dengan musik lembut yang dikombinasikan dengan gambar bergerak di layar dan seorang penari yang tengah bergelantungan di sebuah tirai menjadi perpaduan yang semakin memunculkan sisi sunyi seorang remaja.

“Remaja-remaja kota besar walaupun didukung teknologi, kesepian mereka tidak bisa dihindari. Itu juga yang menginspirasi saya untuk menciptakan karya ini,” tambah koreografer yang biasa disapa dengan Anggi tersebut. Jika karya bertajuk It's Me dibawakan solo dengan properti kursi,meja,dan sebuah tirai, tidak demikian dengan karya kedua Anggi, "......" (2009). Walaupun sama-sama mengangkat sisi kesunyian remaja kota besar, "......." (2009), digambarkan dalam konsep kesunyian remaja yang lebih heterogen. "......" (2009)diawali dengan kegelapan yang pekat di atas panggung.

Ketika panggung mulai menjadi remang dengan cahaya redup, sebuah bandulan bergerak dengan ritme teratur. Kanan, kiri statis yang menggambarkan pergerakan waktu yang lambat, namun pasti. Enam penari, lima di antaranya duduk di kursi dengan rapi, sedangkan satu penari lainnya tergeletak di panggung dengan kursi terbalik. Seiring dengan musik yang semakin keras, gerak para penari pun berubah. Tidak ada gerakan yang sama pada setiap penari.

“Tarian kedua, saya gambarkan sebagai bentuk dari kesepian yang melibatkan banyak remaja di kota besar.Walaupun berada di tengah keramaian, hati mereka tetap penuh dengan kekosongan,” tuturnya. Lima penari yang sibuk dengan rutinitasnya masing-masing, juga digambarkan Anggi dengan ketidakpedulian mereka ketika datang remaja lainnya.Walaupun tergabung dalam sebuah rutinitas, sama sekali tidak ada komunikasi di antara mereka.

“Itulah yang kini dirasakan masyarakat kota besar.Mereka kehilangan cara untuk berkomunikasi atau beramah tamah dengan sesama,” aku koreografer kuning langsat tersebut. Untuk menegaskan kesunyian yang dialami oleh remaja kota besar, Anggi juga menambahkan properti seperti kursi dan sebuah meja. “Kursi merupakan tempat orang banyak bertumpu dan menahan berat badan ketika sedang duduk. Dalam keseharian, kita paling sering menggunakan benda seperti kursi,” tambah lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tersebut.

Pementasan dua karya tari kontemporer karya Anggi memang membuat penonton yang memadati Teater Salihara terpana. Aplaus panjang pun bergema di akhir pertunjukan. “Bagi saya, karya Anggi memang memiliki kekuatan dari segi ide.Namun, masih belum bisa dikategorikan sebagai tari kontemporer,” kata koreografer Jecko Siompo seusai menyaksikan dua karya Anggi. Alasannya, menurut Jecko, adalah tarian Anggi yang berjudul It's Me, tidak membuatnya berpikir karena dikemas dengan sangat ringan.

"Dari segi artistik tarian Anggi memang bagus. Di tarian kedua yang berjudul "........" (2009), mungkin harus banyak berlatih lagi," tambah koreografer berpengalaman internasional ter-sebut. (bernadette lilia nova)

Tidak ada komentar: