Senin, 25 Mei 2009

Ritual Perang Tanpa Dendam

Image

PERANG PISANG,
Beberapa remaja bertelanjang dada sedang beraksi dalam ritual perang pisang. Tradisi perang pisang atau biasa disebut mesabatan biu itu dalam rangka memilih ketua dan wakil ketua Sekaa Teruna. Perang pisang dilakukan untuk menguji mental dan kedisiplinan para calon.

Perang tidak selalu memiliki arti sebagai klimaks dari sebuah permusuhan yang memakan korban.Tengok saja Perang Pandan masyarakat Tenganan, Kabupaten Karangasem,ujung timur Bali. Sore itu 16 orang taruna (pemuda) Desa Tenganan Dauh Tukad, Kecamatan Manggis,Kabupaten Karangasem, berbaris di ujung jalan desa layaknya siap berperang.

Mereka bertelanjang dada dan mengenakan kain kemben dan udeng (ikat kepala). Senjata yang mereka hunus bukanlah pedang maupun panah yang sesungguhnya, melainkan buah kelapa dan dua tandan pisang kepok mentah yang terpanggul di pundak masing-masing. Di ujung yang berlawanan,berjarak sekitar 200 meter, berdiri pula dua pemuda yang juga menanggul hasil bumi.

Sedangkan seluruh warga desa yang semula berkumpul di Pura Bale Agung desa setempat diminta berjajar di sepanjang jalan yang nantinya dilalui oleh kedua kubu pemuda tersebut yang akan bertarung itu. Iringan gamelan khas Bali yang dimainkan para tetua desa makin meramaikan perhelatan tradisi ini. Tak lama kemudian, pukulan kulkul (kentungan khas Bali) terdengar.

Ke-16 pemuda itu bergegas berjalan dengan setengah berlari menuju arah lawan.Tepat di tengah perjalanan yang menjadi medan, “perang”pun berlangsung. Aksi lempar pisang mentah terjadi dengan sasaran kedua pemuda yang belakangan diketahui sebagai calon ketua dan wakil ketua seka taruna (kelompok pemuda desa).Tak mau kalah, kedua calon pimpinan pemuda desa itu pun membalasnya.

Tradisi perang pisang atau biasa disebut mesabatan biu bertujuan memilih ketua dan wakil ketua seka teruna,juga dilakukan untuk menguji mental dan kedisiplinan kedua calon.“Jadi, sebelum keduanya dapat ditetapkan, terlebih dahulu mereka harus menempuh ujian,” ujar Kelian Gede Taruna Seka Taruna Dukuh Mengku Komang Mardika.

Bila dalam prosesi terdapat kelapa yang jatuh ke tanah,si pemuda wajib membayar denda sebesar harga jual kelapa tersebut atau sekitar Rp1000 per buah. “Biasanya ada calon yang gugur, namun kali ini keduanya berhasil lolos sebagai petinggi pemuda di sini,” imbuh Mardika.

Ritual perang pisang dilaksanakan serangkaian dengan Aci Katiga (upacara pada bulan ketiga penanggalan Tenganan). Sebelum prosesi perang pandan digelar, semua pemuda desa diwajibkan memetik pisang dan kelapa yang ada di desa.Semua pohon kelapa yang berbuah harus dipetik. Masingmasing pohon satu tandan.

Tradisi Baliaga

Desa Tenganan yang berjarak sekitar 60 km ke arah timur dari Kota Denpasar dipercayai berawal dari zaman pemerintahan Raja Bedahulu, sebelum Bali ditaklukkan Majapahit pada abad XIV.Desa ini pernah terbakar hebat pada 1841 hingga peraturan adat (awig-awig) desa itu semuanya ikut musnah terbakar.

Setelah peristiwa kebakaran itu,para pemuka desa lantas menghadap Raja Karangasem dan Raja Klungkung untuk mohon restu pembuatan peraturan desa yang baru.Awig-awig baru lantas dibuat berdasarkan ingatan para tetua desa dan selesai pada 1842.Awingawig baru ini menjadi pedoman warga desa sampai sekarang. Begitulah kisahnya sehingga Tenganan dikenal dengan tradisi Bali Aga.

Keunikan tersendiri bisa ditemukan di Desa Tenganan ini jika dibandingkan desa lain misalnya rumah adat yang berderet sama persis satu dengan yang lainnya dan tiga balai desanya yang kusam masih bertahan hingga sekarang. Tidak hanya itu,di desa ini juga keturunan dipertahankan dengan perkawinan antar sesama warga desa.

Sementara sistem ekonominya masih bersifat tradisional.Penghasilan penduduk desa masih menggunakan sistem barter di antara kalangan warganya, baik itu berupa hasil bumi, produk kerajinan seperti anyaman bambu, ukirukiran, maupun yang paling terkenal adalah kain geringsing. Satu lagi,warga desa ini juga tidak pernah memperingati Hari Nyepi lazimnya umat Hindu di Bali.

Perang pisang juga menjadi tradisi khas yang membedakan penduduk Tenganan dengan orang Bali lainnya.Ritual ini baru dihentikan setelah kedua calon harus lari tunggang-langgang sejauh kurang lebih 300 meter menuju pintu gerbang Pura Bale Agung. “Begitu kedua calon berhasil lolos masuk pintu gerbang pura, mereka dinyatakan lulus dan mereka yang berhasil lolos berhak dikukuhkan menjadi penghulu adat untuk kelompok taruna,” tandas Mardika.

Meski masing-masing peserta mengaku kesakitan akibat lemparan pisang,tak satu pun dari mereka yang memiliki dendam terhadap peserta lainnya.Mereka mengaku ini kewajiban sebagai pemuda ketika memasuki usia remaja atau akil balig.Tradisi yang telah berlangsung ribuan tahun itu tak pernah menyisakan dendam.

“Cepat atau lambat,semua pemuda harus menjalani ini untuk melatih tanggung jawab,”ujar Wayan Dharma,berusia 26 tahun yang terpilih menjadi ketua seka taruna.“ Juga tak ada dendam sedikit pun,” imbuh Wayan Agustiana, berusia 25 tahun yang menjadi wakilnya.

Pesta Megibung

Perang pisang diakhiri dengan megibung (makan bersama dalam satu wadah) di Pura Bale Agung yang diikuti semua warga desa,termasuk para peserta dan anakanak. Mereka semua duduk melingkari makanan khas dan kendi berisi air putih yang telah disiapkan sebelumnya oleh kaum ibu dan taruni (pemudi) desa.

Selain untuk menghilangkan permusuhan di antara pemuda desa,tradisi megibungini berfungsi untuk mensyukuri segala yang telah diberikan Tuhan dan menularkan ajaran toleransi dan kebersamaan hingga tata cara kepada anak-anak. “Harapannya anak yang kelak menjadi penerus adat istiadat desa kami tetap bisa menjaganya,”tutur Mardika.

Tidak ada komentar: